Sefruit Tanya

Se-fruit tanya. Sebuah tanya. Kapan terakhir menangis?

Hoho. Aku tidak tahu apakah pertanyaan ini benar-benar harus kujawab secara literal, sebab bila iya maka jawabannya adalah ketika aku membaca kisah Jati Wesi di bagian-bagian awal buku Aroma Karsa. Atau bila itu tidak masuk hitungan, maka terakhir kali aku menangis–lagi-lagi karena buku–ketika aku baca kisah Biru Laut di buku Laut Bercerita yang kubaca beberapa hari yang lalu.

Sedrama itukah diriku sampai-sampai menangis karena buku? Mungkin ada yang bertanya. Namun, kedua buku itu memang sememesona, sememikat dan semagis itu.

Oke lupakan. Balik ke pertanyaannya. Selain karena dua buku itu, aku tidak ingat kapan persisnya aku menangis. Namun, aku ingat apa yang membuatku menangis.


Barangkali dulu aku terlalu akrab dengan kesendirian, suasana sepi dan menikmati setiap momen bersama diriku sendiri. Dulu. Sampai waktu kemudian membawaku melihat dunia dari perspektif yang lebih lebar. Melihat dunia sebagai bentangan luas yang sayang untuk dilewatkan hanya dengan mengandalkan apa yang kuyakini pada saat itu; melakukan dan merasakan segala sesuatu sendiri.

Aku pada saat itu bahkan tidak pernah membayangkan diriku akan begitu menyedihkan dalam kesendirian. Namun, sekali waktu, saat aku mulai membuka ruang privasiku untuk banyak orang-orang yang kelak menjadi manusia-manusia yang kusayangi (selain tentunya keluarga), aku baru betul-betul menyadari bahwa kodrat manusia adalah selalu membutuhkan manusia lain. Aku pada saat itu sulit mengakuinya (saking keras kepalanya), tapi aku membutuhkan mereka, butuh mengobrol, butuh tertawa atau menangisi sesuatu bersama.

Aku mengira keberadaan diriku, keluarga dan apa yang kusenangi sudah cukup. Sementara, kehadiran teman adalah sesuatu yang sejak dulu berusaha kutolak mati-matian, tidak membiarkannya merangsek masuk ke duniaku lebih jauh, sesuatu yang sejak dulu mungkin menjadi hal yang masih sulit untuk kutetapkan akan kuletakkan di bagian mana. Apakah di luar gelembung privasiku atau membiarkan mereka masuk dan menemani seorang manusia yang selalu menganggap bahwa kesepian adalah sahabat terbaiknya. Dan aku berakhir pada pilihan kedua. Meski awal-awal aku khawatir akan bergantung kepada mereka, tetapi yang kemudian terjadi adalah dari mereka aku menyadari bahwa mengakrabkan diri dengan dunia luar tidak semengerikan itu kok.

Barangkali ada pengalaman traumatis dari masa lalu hingga aku terlalu antipati pada sesuatu yang berhubungan dengan manusia lain selain orang-orang terdekatku. Aku takut akan penolakan. Aku takut dikecewakan. Aku takut dimanfaatkan (padahal katanya mau jadi manusian bermanfaat😆), dan ketakutan-ketakutan serupa lainnya. Namun, sekali lagi, waktu membawaku tiba pada kesimpulan: dunia luar tidak semengerikan itu.

Aku merenungi itu beberapa hari yang lalu dan aku–ehem–menangis karenanya. It’s okay, we needs to cry once in a while.

Tulisan ini entah mengapa jadi mengalir begitu saja, aku bahkan merasa masih ingin menambahkan banyak, tetapi deadline-nya sisa lima belas menit lagi (siapa suruh pakai acara lupa menulis segala!). Jadi, semoga aku bisa menulis lanjutannya kapan-kapan. LOL

18 November 2020

(Semoga belum telat *lol)

Published by risna

nothing to see here—yet.

13 thoughts on “Sefruit Tanya

  1. menangis karena buku? Kadang aku juga begitu, sebuah buku bisa mengantarkan kita pada kenangan paling dalam😭 dan baca tulisanmu ini juga bikin aku nyesek😣 aku juga pernah terlalu berpikir negatif pada dunia luar. Terlalu menjaga privasi, terlalu takut berbaur. Terlalu takut mengulang lagi luka yang pernah Kualami.

    Dan betul, dunia luar tak semengerikan yang dulu kupikirkan.

    Dan lagi, aku membayangkan tulisanmu yang ini ada part 2 nya hehehe😅😅 semangat menulis✊✊

    Liked by 1 person

  2. menangis karena buku? Kadang aku juga begitu, sebuah buku bisa mengantarkan kita pada kenangan paling dalam, dan baca tulisanmu ini juga bikin aku nyesek, aku juga pernah terlalu berpikir negatif pada dunia luar. Terlalu menjaga privasi, terlalu takut berbaur. Terlalu takut mengulang lagi luka yang pernah Kualami.

    Dan betul, dunia luar tak semengerikan yang dulu kupikirkan.

    Dan lagi, aku membayangkan tulisanmu yang ini ada part 2 nya hehehe.. semangat menulis!

    Like

  3. Ada yang bilang bahwa mungkin seseorang membaca buku dengan judul yang sama, tetapi mereka sebetulnya membaca buku sama sekali berbeda karena perbedaan pengalaman dari pembacanya. Kadang buku membuat orang lain menangis, tetapi tidak bagi kita. Begitu juga sebaliknya, kita menangis karena buku, tetapi orang lain tidak, sebab kita punya pengalaman hidup kita masing-masing dan punya perasaan berbeda saat membacanya. 🤗

    Mengenai membuka diri dengan dunia luar, mungkin pengalaman traumatis pada masa lalu yang membuat kita menutup diri, tidak mudah untuk keluar dari gelembung itu, dan aku mau mengucapkan selamat untuk kita, kamu dan aku, akhirnya kita pelan-pelan bisa menerima itu, meski aku paham betul bahwa itu sama sekali berat dan tidak mudah.

    Terima kasih ya sudah mampir untuk membaca dan berbagi kisah di sini. Semoga part kedua bisa segera kuunggah. Semangat juga. 🤗❤️

    Liked by 1 person

  4. Aku malahan bisa menjadi secengengnya manusia.
    Pernah aku menangis cuma karena nonton potongan anime yang nggak sedih-sedih banget.
    Atau yang paling ekstrim adalah ketika gaktau apa sebabnya, tapi aku nangis begitu aja.
    Jadi terakhir kali aku menangis, aku nggak ingat. Saking seringnya wkwk.

    Tapi-tapi, aku selalu nangis sendirian.
    Atau paling parah di depan suami. Di depan lainnya atau di tempat umum aku menahan mati-matian.
    Pokoknya, gak ada yang tau aku secengeng itu sampai komentar ini aku kirim. Hahahaaa

    Liked by 1 person

        1. Alhamdulillah baik, min. Sekarang lagi sibuk-sibuknya menghadapi semester akhir. Mohon doanya untuk kelancaran segala-galanya, dan salam juga buat teman teman di IK, semoga sukses selalu. 😅

          Like

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started