Sendoyan dan Cerita Tentang Kita – Bagian Terakhir

Hari ini Pita bermaksud untuk menghibur Bagas dan kawan-kawannya. Ia membawa mereka ke dermaga saat pagi-pagi sekali, menjauhi sekolah yang kemungkinan besar akan dirobohkan besok siang. Sampai pagi ini Abah Zaim pun masih belum dapat solusi atas permasalahan itu.

Pita tidak tega melihat wajah sedih muridnya, beruntung kesedihan itu lenyap perlahan-lahan begitu Lingga bergabung bersama mereka.

Beramai-ramai mereka menyusuri pematang sawah, berbelok ke jalan setapak di area kebun warga yang akan membawa mereka menuju dermaga. Pita memimpin perjalanan itu disusul Bagas, Wiwi, Putri dan yang lainnya. Lingga berada di belakang mereka.

Di depan sana, Pita mulai bernyanyi riang, menyanyikan lagu Rumah Kita, yang ajaibnya telah dihafal oleh anak-anak. Setahun meninggalkan Sendoyan, anak-anak ini telah berubah banyak. Mungkin karena kehadiran Pita beberapa hari terakhir ini, pikir Lingga.

Lebih baik di sini, rumah kita sendiri. Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa, semuanya ada di sini.

Lingga di belakang sana tersenyum melihat usaha Pita bernyanyi sebaik yang ia mampu.
Sejauh ini, Sendoyan telah memberi Lingga begitu banyak hal baru. Ia bahkan tak mengira, kepulangannya kembali ke desa ini akan mempertemukannya dengan gadis energik bernama Pita, yang bukan hanya berhasil mencuri hati anak-anak, tetapi juga hatinya.

Setibanya di dermaga, anak-anak langsung serius memperhatikan Pita yang mengambil beberapa pelepah pisang dari sekitar tempat itu.

Mereka membuat perahu dari pelepah pisang itu yang Pita sebut sebagai perahu harapan. Perahu yang ia harapkan akan membawa mimpi anak-anak Sendoyan dan bermuara pada masa depan mereka yang cerah.

Anak-anak bertepuk tangan dengan semarak melihat perahu-perahu yang mereka alirkan saling berlomba menuju muara, menyusuri aliran sungai yang keruh. Di perahu itu mereka menulis cita-cita masing-masing. Ada yang menulis ingin menjadi polisi, guru dan sebagainya. Namun, Pita menyaksikan Bagas masih menulis harapannya di kertas, belum juga mengalirkan perahunya. Gadis itu mendekat dan terharu ketika melihat tulisan Bagas yang kecil-kecil dan rapi. Di kertas itu tertulis:
Bagas hanya berharap semoga sekolah kami tidak dirobohkan. Bagas masih mau sekolah.

Pita memeluk Bagas sebelum menemani anak itu mengalirkan harapannya, menyusul harapan anak-anak yang lainnya.

Tak jauh dari tempat mereka, Lingga sudah berkumpul dengan anak-anak dan bernyanyi bersama. Mereka menyanyikan lagu negeri di awan yang seketika membuat atmosfer sekitar mereka terasa tenteram dan khidmat.

Lagu itu. Batin Pita.

Pita dan Bagas lantas bergabung bersama mereka, menyanyi bersama-sama.
Diam-diam Lingga berharap, ia ingin selamanya di sini.

Di Sendoyan, bersama anak-anak ini.
Bersama Pita.


Mereka berpisah di persimpangan jalan. Anak-anak pulang dengan riang ke rumah masing-masing. Dan menyisakan Pita dan Lingga yang melangkah pelan-pelan menuju rumah Abah Zaim. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, sampai akhirnya Lingga memecah senyap dengan berkata, “Menyenangkan, ya, melihat Bagas dan teman-temannya bisa kembali ceria. Berkat kamu.”

“Aku hanya menitip memori kebersamaan dengan mereka. Aku ingin dikenang baik oleh mereka seperti mereka yang selalu mengenang kamu. Besok sekolah akan dirobohkan, mereka akan kembali bekerja bersama orangtua mereka. Dan kemungkinan aku juga akan kembali ke Bandung. Misiku gagal.”

“Misi?” Lingga bertanya dengan sungguh-sungguh.

“Menyelamatkan pendidikan di Sendoyan ini. Dan…”
Menyelamatku hatiku, batinnya melanjutkan.

“Dan?”

Pita tidak menjawab. Perhatiannya teralihkan oleh minivan yang terparkir di halaman rumah Abah. Ia jelas mengenal mobil itu. Sangat mengenalnya. Yang membedakan mobil itu dari terakhir kali Pita melihatnya adalah mobil itu kini bermandikan lumpur. Jelas, musim penghujan membuat jalanan yang menghubungkan Sendoyan dengan kabupaten tetangga tak akan ramah dengan kendaraan apa pun.

Pita mempercepat langkahnya ke rumah Abah Zaim meninggalkan Lingga di belakangnya. Ada yang tidak beres.
Setibanya di sana, semburat merah langsung memenuhi wajah Pita. Jantungnya berdegup karena amarah.

Ia gagal bersembunyi. Devo telah menemukannya.

Di beranda rumah, Devo sedang mengobrol dengan Abah Zaim ketika Pita datang. Pemuda itu menyadari keberadaan Pita dan dengan cepat menuruni tangga rendah rumah Abah lantas mengambil langkah taktis memeluk Pita. Ia begitu merindukan kekasihnya.

Pita mendorongnya. Rona bahagia yang tadi dibawanya pulang dari dremaga segera menguap dari wajahnya berganti raut kebencian. Gadis itu mendorong Devo dengan kasar.

“Ibuk yang memberitahuku, Pit. Aku datang menjemputmu dari sini. Aku sudah membatalkan pertunanganku dengan Sekar. Aku sadar, yang kubutuhkan adalah kamu, bukan dia.”

“Dasar hipokrit!”
Pertahanan yang susah payah Pita bangun selama di Sendoyan runtuh seketika. Air matanya jatuh.

“Dev, Sekar adalah sahabatku. Kau tahu persis itu. Dan kau memilih bertunangan dengannya. Diam-diam, tanpa kuketahui. Aku bahkan baru tahu dari orang lain. Itu sudah cukup membutku menyadari bahwa aku tidak lagi membutuhkanmu. Tidak sekarang atau pun selamanya.”

Abah dan Mak Cik yang menyaksikan itu hanya bisa terdiam. Sementara itu, Lingga yang berdiri tak jauh dari belakang Pita seketika mengerti mengapa Pita di sini.
Ia tak lagi membutuhkan jawaban atas pertanyaannya malam itu. Jawabannya sudah ada di hadapannya sekarang.

Pita masih berusaha menegarkan dirinya sendiri. Ia menatap Devo tajam, “Dan kamu tidak punya hak menyuruhku meninggalkan tempat ini.”

Pita berlalu, masuk ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat.


Keesokan harinya, Pita tampak lebih baik. Lingga senang begitu mendapati Pita akhirnya mau keluar dari persembunyiannya.

“Makan dulu, Ta.” Lingga memanggil dari meja makan. Di sana Abah dan Mak Cik juga tengah menunggunya.

Pita tahu, subuh-subuh tadi Devo pulang. Ia mendengar suara mobil itu menjauh dan Pita baru bisa bernapas lega karenanya.

“Ta, sekolah tidak jadi ditutup.” Lingga menginformasikan dengan senang.

Seketika sebetik raut cerah menghias di wajah gadis oriental itu. “Benarkah?”

Abah membenarkan sebelum menyerahkan sesuatu dari dalam sakunya kepada Pita. “Devo menitip ini untukmu, Pit.”

Itu sebuah surat pendek. Pita membacanya dalam hati.

Aku mengerti kedatanganku telah melukaimu sekali lagi, Pita. Abah bercerita tentang persoalan yang kamu dan Abah hadapi di sini. Misi menyelamatkan pendidikan anak-anak Sendoyan. Kamu baik, Pit. Darimu aku banyak hal tentang kebaikan. Pita, aku tahu akan sulit memaafkanku, aku juga tidak berhak memintanya setelah yang kulakukan padamu, tetapi semoga dengan aku membantu Abah Zaim mempertahankan sekolah, rasa bersalahku sedikit-sedikit bisa berkurang.

-Devo’


Pita begitu bersemangat mengajar di hari-hari terakhirnya di Sendoyan. Ia tahu, bersama Bu Guru Desi, anak-anak akan mendapat pengetahuan yang jauh lebih layak. Itu akan membuatnya jauh lebih tegar meninggalkan Sendoyan.

Sekolah benar-benar tak jadi dirobohkan. Bu Guru Desi mulai mengajar pekan depan. Untuk itu, Pita memaksimalkan sisa waktunya bersama Bagas dan kawan-kawannya yang sudah semakin bertambah banyak, terdapat sekitar tiga puluh anak-anak. Terlebih lagi, kini sekolah mereka telah direnovasi dan semakin baik. Perpustakaan mereka jauh lebih baik. Balai bambu itu masih berdiri, tetapi telah dialih fungsikan oleh Lingga menjadi tempat bernyanyi ria bersama anak-anak Sendoyan.

Hari minggu sore, mereka berkumpul di sana. Lingga memainkan ukulelenya sambil bernyanyi lagu Rumah Kita dengan merdu. Anak-anak menyukainya dan mereka turut serta bernyanyi, melambaikan tangan seolah sedang berada di tengah konser yang megah.

Sementara itu, Pita diam-diam sibuk menulis sesuatu di kertas kemudian dilipatnya membentuk pesawat. Ia memejamkan matanya, mengucap permohonannya dan pesawat kertas itu terbang, meliuk dan entah akan berakhir di mana. Satu yang Pita yakini, semesta akan membawa dirinya kembali ke Sendoyan. Suatu hari nanti.

Lingga masih bernyanyi bersama anak-anak ketika tak sengaja matanya menyaksikan Pita menerbangkan pesawat. Ia tersenyum dan diam-diam mengucapkan permohonan dalam hatinya.

Ia telah tahu kemana hatinya akan ia labuhkan.


-Selesai-

Published by risna

nothing to see here—yet.

2 thoughts on “Sendoyan dan Cerita Tentang Kita – Bagian Terakhir

Leave a reply to Hanson Tjung Cancel reply

Design a site like this with WordPress.com
Get started